TIMES MAGELANG, MALANG – Dehumanisasi dalam artian umum Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, Oktober 2023) adalah perbuatan memperlakukan seseorang sebagai bukan manusia karena merasa takut atau untuk menghilangkan rasa bersalah akibat perilaku agresif. Sedangkan humanis artinya orang yang mendambakan dan memperjuangkan terwujudnya pergaulan hidup yang lebih baik, berdasarkan asas perikemanusiaan; pengabdi kepentingan umat.
Humanisasi yang tidak menjadi entitas diri manusia, apalagi memutus rantai kesempatan hidupnya, itu merupakan bentuk dari dehumanisasi radikal yang lepas rasa welas asihnya. “dehumanisasi radikal entitas lepas” yang rasa-rasanya pantas menyebutnya, terhadap kejahatan kemanusian yang dilakukan sebuah negara kepada negara tetangganya yang memakan korban kemanusiaan berjuta-juta, masihkah itu manusia yang pada dasarnya entitas rasa welas asih itu ada.
Kala itu, Senin, 26 Mei 2024, asap mengental di Rafah. Pagi yang cerah menjadi gerah, sumuk, sesak oleh gempuran itu. Bukan maksud untuk berbagi kepedihan, kesedihan adalah kesunyian masing-masing. Namun kebuasan para tentara Israel dan pemerintah yang dilakukan di Rafah melampaui rasa sebagai manusia itu, tak dapat diampuni.
Di Palestina yang gersang, kental dengan bau darah, pengap dengan kematian yang makin akrab-menyelimuti. Sedangkan kemerdekaan tak pernah hinggap, bahkan masih kedap dan Israel masih gelap hati kemanusiaan. Dehumanisasi mereka yang buas di Rafah dan sekitar jalur Gaza Palestina.
Kesadaran manusia saat mendengar, sekaligus melihat di pengungsian di Rafah jalur Gaza Palestina di hujani bom hingga lululantak, darah dan tembok akrab dengan anak-anak. Rasanya tak dapat menakar emosi dengan bijak. Di lokasi itu, mulanya mencari tempat nyaman tuk memperjuangkan nasib, di pengungsian Rafah. Ternyata nasib buruk menimpanya. Maka dengan tegas kejahatan itu di atas dehumanisasi.
Manusia berjenis apa, saat mendengar tangis anak-anak yang bukan karena lapar lagi, bukan karena kurang kasih sayang, tapi sedang berjuang hidup, ya paling tidak sekadar hidup. Walaupun keberuntungan diharapkan kecil kemungkinan. Paling tidak, ia menunda kepedihan untuk menjadi harapan di masa mendatang. Dengan kata lain, masyarakat Palestina yang mengungsi di Rafah selain berlindung dari ledakan, juga nyaman dan tenang, tapi malah sebaliknya.
Di beranda media sosial, akhir-akhir ini algoritma bergerak sesuai dengan kesukaan kita. Masyarakat di Indonesia dapat dikatakan banyak yang peduli terhadap Palestina. Kepeduliannya sangat transparan. Nyaris musik kepedihan atas kejadian kejahatan Israel terhadap Palestina tak dielakkan lagi. Semisal seruan All eyes of Rafah kala itu melintas di beranda sosial-sosial media kita. Namun, apa itu dapat mengobati kepedihan para korban di Palestina. Jika itu bukan bantuan konkret, paling tidak memberi rasa simpati sekaligus empati, jika mampu.
Adapun masyarakat Indonesia dari zaman Orla (Orde lama) mendukung kemerdekaan Palestina. Bung Karno pada tahun 1962 mengatakan, selama kemerdekaan bangsa Palestina belum diserahkan kepada orang-orang Palestina maka sepanjang itulah Indonesia berdiri menantang Israel. Semangat itu tak putus-putus pada ingatan kecil dan besarnya masyarakat Indonesia, yang kerap peduli ke Negara Palestina. Hal itu dibuktikan dengan kejadian beberapa waktu lalu di wilayah pengungsian masyarakat Palestina wilayah Gaza, tepat di Rafah (hari Senin, 26 Mei 2024).
Masyarakat Indonesia akhir-akhir ini punya banyak fokus isu yang diterima, yang sekurang-kurangnya selesai Pilpres; di dunia hiburan film, korupsi, pembunuhan, suku, ras, budaya, dan pendidikan dan sebagainya, khusus masalah-masalah personalnya. Selain itu, masyarakat Indonesia yang pada dasarnya memang punya rasa simpati ke negara Palestina.
Dengan kata lain, masyarakat selalu melebarkan pandangannya dari masalah di depan mata, melainkan ada yang tak segan-segan hanya menyebarkan poster seruan Palestina. Selain itu tak segan-segan jika harus menggelontorkan uang demi kepentingan rakyat Palestina.
Suara Penyair Palestina
Dalam karya sastra puisi yang ditulis oleh penyair asal Palestina, potongan puisinya sebagai berikut:
Untuk negeri kami/yang dekat dengan firman tuhan/beratap awan/untuk negeri kami,/yang jauh dari sifat-sifat kata benda/peta ketiadaan/untuk negeri kami/yang sekecil biji wijen/cakrawala surgawi/dan jurang tersembunyi/untuk negeri kami. (Untuk Negeri Kami. Mahmoud Darwis.2023).
Penggalan puisi judul "Untuk Negeri Kami", gubahan penyair Palestina bernama Mahmoud Darwis. Suara puisi tersebut seolah-olah representasi dari seorang penyair dalam memaknai sebuah negara. Si aku lirik tanpa terlalu banyak menggunakan metafor berlebihan, tapi lebih masygul atas sebuah keadaan kota. Secara suara tersebut lebih pedih daripada kenyataan yang dirasakan oleh masyarakat Palestina, terhadap Israil yang tak henti-hentinya selalu meluluhlantakkan wilayah tersebut tanpa mempertimbangkan anak-anak, hewan, dan orang-orang tak dipikirkan.
Terkutuk kejahatan yang dilakukan oleh para eksekutor dan para sekutu yang tak punya perikemanusiaan. Bagaimana seorang anak yang tak berdosa tak dapat memiliki cita-cita, kecuali kematian makin akrab baginya. Tak ada makanan enak dalam mulut di hari-hari selama hidupnya. Kegetiran akan hidup seolah-olah makin akrab dan kematian mengenaskan seolah-olah makin merap.
Hanya Air Mata dan Doa, Hanya itu yang Kita Punya
Sebagai warga masyarakat Indonesia dari kalangan terdidik, rasa simpati sepertinya tak dapat diragukan lagi. Sebagai masyarakat yang sadar pula, apapun yang dapat dilakukan seolah-olah tak ada kuasa atas keadaan kini, kecuali air mata dan doa menderas terbaik kepada masyarakat Palestina. Dan doa itu selalu jadi andalan sebagai tameng rasa kepedulian.
Pada kalangan tertentu, manusia akan punya rasa iba sekaligus ingin terlibat pada kesulitan dan kepedihan mereka (di Palestina). Namun, setiap manusia punya kadar keterbatasan atas apa yang mampu dan bisa dilakukan. Tentu, pada kadar paling memungkinkan seorang bisa melakukan apa yang dapat dilakukan. Misalnya rela menyumbangkan dana di donasi umum, baik baju atau uang. Itu paling bisa dilakukan secara sederhana lakukan. Tentu dengan niat paling sempurna, tampa pamrih.
Sangat memberi apresiasi kepada volunteer di bidang kesehatan atau di bidang lainnya, yang di Gaza. Dalam konteks ini tanpa memikirkan latar belakan sebuah agama, akan tetapi lebih memandang sebagai manusia. Tentu dalam konteks kemanusiaan manusia tidak perlu membicarakan agama apa, karena ini merupakan hablumminanas (hubungan dengan manusia) yang semestinya perlu mendapat ruang umum.
Namun, di Indonesia yang Islam sebagai mayoritas punya aktif, terkait mengawal isu kemanusiaan di Palestina, tanpa berpikir dampak baik diberikannya, paling tidak punya semangat kepedulian untuk mereka.
Adapun masyakarat non-muslim yang punya rasa kemanusiaan ikut serta dalam mendukung kepedihan Rafah, air mata akan mengarah ke konflik di sana. Bagaimana mungkin tidak. Secara naluri akan punya serta Palestina secara umum. Rasa mendalam memandang kematian anak-anak, orang tua, tanpa ada rasa iba sebagai manusia.
Sebuah kekejaman tersebut mengingatkan pada sebuah kisah mitologi hindu di epos mahabarata. Ia bernama Aswatama yang termasuk ciranjiwi (makhluk abadi), makhluk yang dikutuk manjadi abadi di bumi, tanpa memiliki rasa cinta. Bagaimana manusia yang dianugerahkan kekal di bumi, tapi malah membuat kekacauan. Kekejaman yang tak akan dilupakan dalam sejarah, pada saat melakukan pembantaian kepada putra Pandawa dan mencoba menggugurkan janin yang dikandung Utari istri Utari.
Kekejaman di Rafah mengingatkan kisah di Mitologi di atas. Bagaimana manusia sudah tidak dapat dipandang sebagai manusia. Naluri runtuh diganti dengan keganasan rasa-rasanya memang sudah tidak layak dan patut dipandang manusia untuk mereka yang menyerang tanpa henti, yang memakan korban bukan hanya orang dewasa, selain itu anak-anak tanpa dosa.
Walaupun masih ada kesempatan hidup rasa trauma anak-anak itu akan menjadi kepedihan selama-lamanya. Lantaran kehilangan yang membuat getir hidup. Dengan kata lain akan menjadi manusia sekadar hidup: tanpa mimpi, tanpa bahagia, tanpa tertawa dengan keluarga, yang ada seperti penjara dalam derita.
Dibenci oleh Rakyatnya Sendiri
Kepedihan yang diterima masyarakat Palestina tanggungjawab siapa? Sebagai saudara kemanusiaan, tentu. Kebaikan humanisasi itu merupakan tanggungjawab bersama, sebagai manusia. Terkecuali mereka yang tak punya rasa peduli (dehumanisasi) dan bahkan membenci membabi buta seolah-olah rasa peduli yang putus dari entitas dirinya manusia. Teruntuk ke generasi Palestina.
Dari keganasan pemerintah Israel dan tentara ganasnya. Tak ada rasa pujian kepadanya kecuali kebencian atas perlakuan kepada masyarakat Palestina, menyerang tanpa memandang sebagai manusia di Gaza dan di Rafah, yang kala itu. Kejahatan lain, dalam catatan gelap kejahatan perintah yang menyerang Palestina sejak seolah-olah Anda tahu, tidak ada waktu dan tempat aman di Israel dan Palestina.
Keriaan Bar Mitzavah Arau perjamuan buka-puasa Ramadan bisa seketika berubah menjadi neraka karena kedatangan pembom bunuh diri atau tentara Israel Defense Force (IDF). Doa Sabbath atau salah Jumat berjamaah hikmat selalu dikoyak-koyak dentuman roket, esai kutip dari Tirto.id (Dea Anugrah 2016).
Trauma akan terjadi kepada anak-anak yang masih punya harapan hidup. Namun tidak dengan mereka yang kedap dengan segala harap. Tanggungjawab ini sebenarnya tanggungjawab bersama dari beberapa negara yang menganggap bahwa ini kejadian yang dilakukan oleh pemerintah dengan sadar oleh Israel dan Hamas keluar dari kemanusiaan yang semestinya mengambil sikap dengan penuh hikmat. Selain itu PBB (Persatuan Bangsa Bangsa) semestinya kompak menyatukan persepsi yang serupa untuk membela kemanusiaan di Palestina.
Pada sisi lain. Satu-satunya manusia yang sangat diketahui dari segi karyanya—yang tak dapat penghakiman secara personal yaitu penulis yang sangat kritis terhadap pemerintahannya, dengan tulisan-tulisannya. Ia secara tekad dan penuh keberanian yang beresiko. Pada kesempatan ini satu orang yang tak perlu dibenci, jika mau memberikan pengakuan yaitu salah satu penulis sastra Israel bernama Etgar Keret. Kritik yang dilakukan melalui tulisan oleh Etgar Keret, dalam bentuk karya fiksi dan menulis esai kritik kepada pemerintah Israel.
Jika di pandang dari satu sisi, negara Israel adalah manusia bringas dan buas, serta pemerintah gila perang, di negeri itu ada kelompok-kelompok progresif yang punya rasa keperpihakan kepada kemanusiaan. Etgar Keret ialah bagian dari golongan kedua. Sebab dalam karya-karya tulisnya menolak kekejaman dilakukan ke Palestina.
Dari sisi ini salah satu masyarakat Israel menolak, bahkan tidak terima terhadap kekejaman yang dilakukan kepada Palestina, ‘itu merupakan kezaliman tingkat tinggi, terutama yang dilakukan di Rafah merupakan Holocoust.’ Pada 28 Mei 2024, kritik Etgar Keret kepada pemerintah sendiri, ia menulis di buletin pribadinya etgarkeret.com, serta postingan sosial medianya yang melakukan protes terhadap pemerintah Israel menuliskan dengan judul Lost In The Minddle East dalam terjemahannya "Hilang di Timur Tengah".
Adapun merupakan pengalaman yang unik menyaksikan negara Anda diadili di Mahkamah Internasional. Dalam perempat abad sejak pendiriannya, Israel telah menjadi sasaran berbagai ancaman yang berbeda, namun tidak satupun dari warganya mengira akan tiba saatnya Israel diadili atas genosida. Rezim tirani. Banyak orang yang bersikeras-dan bisa dibenarkan.
Tulisan Etgar berusaha untuk memberikan sebuah bukti dirinya tidak ingin adanya sebuah kekejaman terjadi terus menerus. Ia berusaha menyadarkan masyarakat juga kontra terhadap kekejian pemerintahan Israel yaitu Netanyahu. Bahkan dapat dikatakan manusia yang entitas manusianya lepas. (*)
***
*) Oleh : Akhmad Mustaqim, Pengajar di Unira Malang.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
*) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Dehumanisasi, Kritik, dan Entitas yang Lepas
Pewarta | : Hainorrahman |
Editor | : Hainorrahman |