TIMES MAGELANG, JAKARTA – Upacara Kemerdekaan Republik Indonesia ke-79 akan dilaksanakan di dua tempat yaitu di Istana Jakarta dan di Ibu Kota Nusantara (IKN). Kementrian Keuangan sudah merilis anggaran upacara tahun ini sebesar Rp 87 miliar, lebih besar dari anggaran tahun sebelumnya. Presiden Joko Widodo beserta beberapa tokoh menganggap kenaikan itu adalah hal yang wajar.
Sudah banyak pengamat yang menilai upacara HUT ke-79 di IKN terkesan dipaksakan, mulai dari infrastruktur IKN yang sangat cepat pembangunannya hingga anggaran yang membengkak. Bahkan juga yang masyarakat yang menilai, upacara di IKN adalah pertaruhan politik Presiden Jokowi walaupun mengorbankan anggaran yang besar.
Dengan anggaran yang sangat besar, yang bersumber dari pajak, dari masyarakat, namun masyarakat di sekitar IKN dilarang mengikuti upacara secara langsung dengan dalih keterbatasan tempat upacara, tidak hanya itu sisi lain dari hari kemerdekaan yang menghabiskan anggaran besar untuk upacara, masih banyak masyarakat yang masih berada di dalam level kemiskinan bahkan kemiskinan ekstrem.
Menurut data Badan Pusat Statistik, penduduk miskin pada Maret 2023 sebesar 9,36 persen walaupun menurun, jumlah penduduk miskin masih cukup banyak, belum lagi kemiskinan ekstrem sebesar 1 persen lebih, sehingga menurut saya jumlah ini masih cukup banyak belum lagi penduduk miskin tidak hanya di perkotaan namun juga di pedesaan.
Dari segi angka memang terlihat kecil, namun dari segi jumlah, penduduk miskin di Indonesia masih cukup banyak. Sangat miris, anggaran upacara yang demikian besarnya, namun di Hari Kemerdekaan masih ada masyarakat yang kebingungan besok makan apa, uang dari mana, bahkan kebingungan untuk melanjutkan kehidupan.
Jika meminjam istilah wartawan senior Budiman Tanuredjo, saat ini kelas menengah terkena hantaman, di mana banyak elite politik yang sedang sibuk menjegal sana, jegal sini, namun banyak masyarakat yang kebingungan karena dagangan sepi, karyawan banyak di PHK dan tentu harga pangan yang terus beranjak naik.
Saya meyakini, bahwa asumsi kemiskinan karena malas tidaklah terbukti, banyak kemiskinan yang terjadi akibat kesalahan sistem dan kebijakan publik yang ngawur, sehingga dampaknya masyarakat menjadi malas. Hal ini dibuktikan dengan pola pikir masyarakat yang akhirnya terjebak untuk bertahan hidup. Contoh jelasnya adalah warga di perbatasan Jakarta Utara, dan sebagian warga perkotaan di DKI Jakarta.
Zakat, Langkah Kemerdekaan dari Kemiskinan
Di luar hiruk pikuk soal upacara kemerdekaan dan kemiskinan ekstrem yang terjadi di Indonesia, sebetulnya zakat menjadi pilihan alternatif untuk mengurangi angka kemiskinan, bukan hanya mengurangi angka, namun dapat meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat.
Mengapa Zakat dianggap efektif dalam mengurangi kemiskinan? pertama, di dalam ajaran Islam, zakat merupakan salah satu kewajiban yang harus ditunaikan, menyisihkan sebagian harta yang sudah mencapai batasan minimal jumlah harta (Nishab) dan batasan minimal waktu (haul). Pastinya umat muslim akan membayar zakat, setidaknya membayar zakat fitrah untuk membantu warga yang benar-benar membutuhkan.
Sebagai negara mayoritas muslim, potensi zakat di Indonesia menurut Kemenag mencapai Rp 327 triliun. Angka yang sangat cukup untuk melakukan perubahan terhadap rakyat yang berada di kelas menengah dan masuk kedalam kemiskinan. Namun, sayangnya penghimpunan Zakat di Indonesia baru mencapai angka 33 triliun.
Mengelola dana sebanyak itu, tentu tidaklah mudah, jangankan lembaga zakat, mungkin pemerintah pun akan kesulitan mengelola dana zakat yang sangat besar, karena dasar hukum islam yang sangat mengikat dalam pengelolaan zakat.
Saat ini, setidaknya ada 170 lembaga amil zakat yang sudah mengantongi izin kemenag, saya membayangkan jika semua melakukan kolaborasi, dengan adanya kesadaran masyarakat untuk menunaikan zakat, lalu pendistribusian oleh seluruh lembaga amil zakat dengan merata, tentu perlahan angka kemiskinan akan mulai menurun.
Memang, mendistribusikan dana zakat tidaklah mudah, selain terikat dasar hukum islam, pendistribusian pun perlu kreativitas,. Walaupun penyaluran untuk masyarakat dengan kemiskinan ekstrem lebih sering penyaluran secara langsung seperti bantuan beasiswa, bantuan sembako dll, namun tentu, saatnya ada proses pergeseran agar penyaluran zakat lebih maksimal dalam pemberdayaan.
Tentu akan banyak jalan terjal yang akan dilewati, apalagi pola pikir masyarakat saat ini, yang sudah sangat menikmati bantuan sosial atau bantuan langsung lainnya. Sehingga timbul risiko ketika diberikan bantuan pemberdayaan, dana bantuan dari zakat akan habis tanpa hasil, karena masyarakat saat ini lebih menyukai “disuapi” dibandingkan dibekali dengan kail pancing dan mencari ikan nya sendiri.
Memaksimalkan Pemberdayaan dengan Inovasi Sosial
Lembaga zakat, harus memulai inovasi sosial, untuk memaksimalkan pendistribusian dana zakat dengan sistem pemberdayaan, setidaknya Amil harus mengurangi angka kemiskinan dengan cara yang berbeda dari Pemerintah.
Biasanya program pemberdayaan dari lembaga zakat adalah berupa bantuan modal untuk jualan atau mengembangkan usaha, pendampingan ekonomi, bahkan pelatihan-pelatihan agar masyarakat dengan kemiskinan diharapkan mendapatkan pekerjaan yang layak dan lebih baik.
Tentu, hal tersebut, jika dilakukan hanya satu program saja, akan sulit. Jika pemberdayaan dari sisi ekonomi saja, atau pendampingan saja tentu akan sulit. Maka butuh program-program berbasis inovasi sosial agar pemberdayaan masyarakat dapat maksimal.
Bagaimana inovasi sosial? yaitu pemberdayaan dari segala aspek yang dilakukan secara bersamaan dan berkelanjutan serta minimal memenuhi pelayanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum, kawasan pemukiman, ketertiban umum dan perlindungan masyarakat, serta sosial.
Apakah mudah? tentu tidak, butuh jumlah dana yang besar dan jangka waktu yang cukup panjang. Namun jika dilakukan bersama antar Lembaga Amil Zakat dan dibagi titik fokus pemberdayaannya, saya yakin, perlahan akan berdampak pada perubahan masyarakat.
Mengapa butuh waktu yang lama dan harus berkelanjutan? karena, pemberdayaan saat ini, harus merestart pola pikir masyarakat yang sudah telanjur nyaman dengan adanya bantuan sosial dari pemerintah, sehingga butuh waktu yang lama agar mereka bisa mengubah kehidupannya dengan berjuang dengan modal yang diberikan.
Tapi percayalah, jika inovasi sosial ini berhasil dilakukan oleh seluruh Lembaga Amil Zakat secara konsisten dan berkelanjutan, Perlahan masyarakat akan merdeka dari kemiskinan, bahkan mereka akan memiliki pola pikir yang merdeka dan tentu berpotensi dapat mengubah nasib bangsa. (*)
***
*) Oleh : Fathin Robbani Sukmana, Pengamat Kebijakan Publik dan Penggiat Filantropi di Lazismu Pusat.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Zakat dan Merdeka dari Kemiskinan
Pewarta | : Hainorrahman |
Editor | : Hainorrahman |