TIMES MAGELANG, MALANG – Makanan memang kebutuhan pokok manusia. Sebelum era modern, makanan tak sekadar pengganjal tubuh. Makanan juga sangat erat dengan nilai spiritual.
Nasi tumpeng contohnya. Biasanya nasi tumpeng disajikan dalam acara-acara tertentu dan penting saja. Seperti perayaan, pernikahan, penobatan, keagamaan, dan lain-lain.
Pada umumnya nasi tumpeng berbentuk kerucut dan diletakkan di tengah kemudian didampingi oleh lauk-pauk dan sayuran di pinggirnya.
Menurut Abimardha Kurniawan, dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga (FIB UNAIR), bentuk kerucut tumpeng itu disimbolkan sebagai sebuah gunung yang suci. Dalam mitologi Jawa sering dikaitkan dengan Gunung Mahameru atau Gunung Semeru, sebagai simbol kesucian dan keberkahan.
Dulu, makanan menjadi sebuah simbol struktur alam semesta. Dalam nasi tumpeng, nasi yang berbentuk kerucut dianggap sebagai Gunung Semeru, dan lauk-pauknya dianggap sebagai penyertanya. Saat manusia memakan suatu hidangan, maka saat itu manusia terhubung dengan sesuatu yang bersifat spiritual atau religius.
"Jadi, ketika memakan makanan ibaratnya pertemuan antara makrokosmos dan mikrokosmos yang disimbolkan dalam bentuk makanan," kata Abimardha Kurniawan saat bicara dalam sesi diskusi "Santap Ingatan: Memori Pangan dalam Naskah Kuno Nusantara" dalam acara #FestivalSastraKotaMalang beberapa saat lalu.
Abi, sapaan keseharian Abimardha Kurniawan, dalam konsep sastra, rasa memiliki beberapa jenis, yaitu pedas, manis, asam, pahit, asin, dan gurih. Pada alam semesta, ini salah satu penyusunnya adalah 6 rasa tersebut.
Idealnya, ketika manusia memakan sesuatu, unsur 6 rasa tersebut yang dijadikan satu. Itu diibaratkan manusia bertemu dengan alam semesta dalam diri manusia. "Makanan tidak hanya sekadar untuk memuaskan hawa nafsu lapar kita, tetapi ada sebab-sebab spiritual. Makanan bukan sesuatu yang diremehkan. Makanan sejak era pra modern sangat dianggap sesuatu yang suci atau seperti suatu persembahan dan sebagainya," imbuhnya.
Pun ketika seseorang mengolah makanan. Dalam proses memasak makan saja, tidak bo;eh sembarangan. Ada pakem. Ada aturannya.
“Saya pernah mengikuti ritual Galungan di lereng Gunung Lawu. Saat itu, ritual Galungan dilaksanakan pada sore menjelang maghrib, dan siangnya hidangan yang akan dipersembahkan sebagai sesaji untuk ritual Galungan itu dimasak oleh ibu-ibu yang sudah menopause. Kaum perempuan yang masih merasakan datang bulan tidak boleh memasak untuk persembahannya. Lalu kayu bakar untuk memasak pun tidak boleh dilangkahi, dan orang laki-laki tidak boleh memasuki area di situ,” ungkap Doktor Ilmu Susastra yang menekuni teks Jawa Kuno dalam tradisi Jawa Kuno dan Bali ini.
Sebagian masyarakat Jawa sampai saat ini, tradisi memandang makanan bukan sekadar memenuhi nafsu lapar semata, masih tetap ada, lestari dan hidup. Mereka masih memandang nilai spiritual yang tinggi di balik sesendok makanan. Sejumlah pemeluk agama, juga masih melakukan ritual doa sebelum menyantap makanan sebagai bentuk penghargaan dan rasa syukur.
"Oleh karena itu, hargai lah dan jangan suka buang-buang makanan," tutupnya. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Makanan Punya Nilai Spiritual: Cara Pandang Masyarakat Pra Modern
Pewarta | : |
Editor | : Faizal R Arief |