https://magelang.times.co.id/
Berita

Memahami PDIP di Pilkada 2024

Kamis, 29 Agustus 2024 - 09:27
Memahami PDIP di Pilkada 2024 Paslon dari PDIP, Pramono Anung dan Rano Karno saat mendaftar ke KPU untuk mendaftar di Pilgub Jakarta 2024, Rabu (28/8/2024). (FOTO: Farid Abdullah/ TIMES Indonesia).

TIMES MAGELANG, JAKARTA – Dalam jagat politik yang penuh dengan manuver dan kedinamisan, keputusan partai politik seringkali tampak penuh kalkulasi dan strategi yang tak terduga. Ini seperti terjadi pada sikap politik PDIP dalam kontestasi Pilkada serentak 2024 ini. Sikap politiknya di DKI Jakarta, Jatim, bahkan di beberapa kota dan kabupaten.

Sore ambil si A, malam sudah ganti si B. Beberapa jam ganti lagi. Dan seterusnya.

Ganti-ganti orang bukan soal apa-apa. Itu hanyalah sebuah fenomena di mana partai lebih memilih untuk mengusung kader mereka sendiri dibandingkan politisi yang belum terbukti loyal. 

Luka Pengkhianatan yang Masih Bengkak

Kita tidak bisa membahas politik tanpa melihat bagaimana hubungan personal dan rasa percaya memainkan peran besar. Sejak banyak politisi—termasuk seorang Jokowi—dianggap kurang loyal terhadap partai yang mengusung mereka, fenomena pengkhianatan ini menjadi momok yang menghantui banyak partai. Tak terkecuali PDIP. Partai yang hingga kini masih menyimpan luka mendalam akibat peristiwa-peristiwa itu.

Mbak Mega, sang Ketua Umum PDIP, bukanlah figur yang asing dengan rasa sakit akibat pengkhianatan. Setelah apa yang dialami partainya, maka wajar jika ada keraguan untuk kembali mengusung tokoh-tokoh yang rentan bersikap serupa. 

Sosok Anies Baswedan adalah contoh paling relevan dalam diskursus politik partai ini. Meski kepemimpinannya di Jakarta tak bisa diremehkan, pandangan bahwa ia “berkhianat” terhadap sosok-sosok yang sebelumnya berjasa bagi karier politiknya, menimbulkan kekhawatiran akan pengulangan sejarah.

Bagi partai politik, loyalitas bukan sekadar kata kosong. Ia adalah jaminan kelangsungan ideologi dan misi partai di kancah politik. Di tengah realitas bahwa politisi non-kader seringkali memiliki agenda pribadi yang tak sejalan dengan partai pengusungnya, banyak partai kini berpikir dua kali sebelum memberikan dukungan kepada mereka. Risiko politik yang terlalu besar membuat partai cenderung lebih berhati-hati.

Mungkin ada anggapan bahwa mengusung kader internal yang mungkin tidak sepopuler Anies akan menjadi keputusan yang berisiko. Namun, PDIP—dan mungkin partai lainnya—pasti telah mempertimbangkan risiko yang lebih besar: potensi pengkhianatan yang akan menggerus kepercayaan publik terhadap partai itu sendiri.

Keputusan PDIP untuk tidak mengusung Anies  bisa jadi adalah bentuk kehati-hatian yang logis. Tidak hanya sekadar soal elektabilitas atau popularitas, tetapi juga demi menjaga integritas partai. Lebih baik mengusung seorang kader yang loyal, meski mungkin harus bekerja lebih keras untuk meraih kemenangan, daripada mempertaruhkan partai dengan sosok yang belum tentu akan menjaga komitmennya.

Jika dilihat dari perspektif ini, langkah partai untuk mengusung kadernya sendiri adalah bentuk kesatria dalam politik. Partai-partai besar seperti PDIP sudah sering merasakan pahitnya dikhianati. Luka yang ditinggalkan tidak mudah sembuh. Bahkan kadang membekas selamanya. Dalam konteks ini, keputusan untuk memilih kader internal adalah upaya untuk menghindari rasa sakit yang sama di masa depan.

Refleksi dari Masa Lalu

Pengalaman adalah guru terbaik. Dunia politik pun tidak berbeda. Jika ada satu pelajaran yang dipetik oleh banyak partai dalam beberapa tahun terakhir, itu adalah pentingnya kesetiaan dan komitmen dalam politik. Bagaimanapun hebatnya kenegarawanan seorang politisi, jika ia gagal menjaga kepercayaan, ia akan selalu dianggap sebagai ancaman bagi stabilitas partai.

Pada akhirnya, partai politik harus tetap teguh dalam prinsip-prinsip mereka, meski jalan yang mereka pilih mungkin tidak selalu populer. Pilihan untuk mengusung kader sendiri adalah keputusan yang didasarkan pada kebutuhan untuk melindungi integritas dan masa depan partai, serta untuk memastikan bahwa apa yang terjadi di masa lalu tidak terulang kembali.

Keputusan ini mungkin akan dilihat dengan berbagai perspektif, namun, di dalamnya terkandung sebuah tekad untuk tetap teguh menjaga marwah partai dari pengkhianatan yang mungkin terjadi di masa depan. 

Partai, dinarasikan sejelek apapun tentang kondisi perpolitikan suatu negara, tetapkan dibutuhkan di negara demokrasi. Partai adalah kendaraan. Sejelek apapun kendaraan, ia tetap dibutuhkan di medan laga. (*)

Pewarta : Khoirul Anwar
Editor : Ferry Agusta Satrio
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Magelang just now

Welcome to TIMES Magelang

TIMES Magelang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.